Makalah tentang Majaz Lughawi



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang sangat indah dan sarat akan makna itu tidaklah mudah. Apalagi Al-Quran merupakan mukjizat terindah dan teragung yang diberikan kepada Nabi Muhammad.
Salah satu sasaran dari sekian banyak disiplin ilmu yang dapat dipergunakan untuk mencapai maksud itu adalah balaghoh, karena balaghoh merupakan disiplin ilmu yang berlandaskan kepada kejernihan jiwa dan ketelitian menangkap keindahan dan kejelasan perbedaan yang sama di antara macam-macam uslub (ungkapan). [1] Ilmu balaghah merupakan ilmu yang keberadaannya tidak kalah pentingnya dari ilmu-ilmu kebahasaan yang lainnya. Sepadan dengan ilmu balaghah adalah ilmu Retorika.[2] Balaghoh mendatangkan makna yang agung dan jelas, dengan ungkapan yang benar dan fasih.
Dalam balaghah tersebut, terdapat materi tentang majaz lughawi. Jadi pada makalah ini kami akan membahas tentang Majaz Lughawi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertain Majaz Lughawi ?
2.      Bagaimana konsep Majaz ?
3.      Seperti apa contoh-contoh Majaz Lughawi ?
4.      Apa saja pembagian dalam Majaz Lughawi ?
C.    Tujuan Masalah
1.      Mengetahui apa itu Majaz Lughawi.
2.      Mengetahui bagaimana konsep Majaz.
3.      Mengetahui contoh-contoh Majaz Lughawi.
4.      Mengetahui pembagian Majaz Lughawi.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Majaz Lughawi
Majaz lughawi adalah lafaz yang digunakan dalam makna yang bukan seharusnya karena adanya hubungan disertai karinah yang menghalangi pemberian makna hakiki. Hubungan antara makna hakiki dan makna majazi itu kadang-kadang karena adanya keserupaan dan kadang-kadang lain dari itu. Dan karinah itu adakalanya lafzhiyah dan adakalanya haliyah.[3]
B.       Konsep Majaz
Secara leksikal majaz bermakna “Melewati”. Majaz adalah suatu perkataan yang dipakai bukan pada makna aslinya karena ada hubungan serta adanya qarinah yang melarang penggunaan makna asal.
Majaz (Konotatif) merupakan kebalikan dari haqiqi (denotatif). Makna haqiqi adalah makna asal dari suatu lafal atau ungkapan yang pengertiannya dipahami orang pada umumnya. Lafal atau ungkapan itu lahir untuk makna itu sendiri. Sedangkan makna majazi adalah perubahan makna dari makna asal ke mana kedua. Makna ini lahir bukan untuk pengertian pada umumnya. Dalam makna ini ada proses perubahan makna. Muradif atau munasabah tidak dikatakan memiliki makna majazi karena didalamnya tidak ada perubahan dari makna asal kepada makna baru (Kamaluddin Maitsami, 1986)
Suatu ungkapan atau teks bisa dinilai mengandung makna haqiqi jika si pengucap atau penulisnya menyatakan secara jelas bahwa maksud sesuai dengan makna asalnya, atau juga tidak ada qarinah-qarinah (indikator) yang menunjukkan bahwa ungkapan dari teks tersebut mempunyai makna majazi. Akan tetapi jika ada qarinah-qarinah yang menunjukkan bahwa lafal atau ungkapan tersebut tidak boleh dimaknai secara haqiqi, maka kita harus memaknainya secara majazi.[4]
Lafazh atau ungkapan majaz muncul disebabkan dua hal, yaitu sabab lafzhi dan sabab tarkibi (isnadi).[5]
1.        Sabab lafzhi, yaitu bahwa lafal-lafal tersebut tidak bisa dan tidak boleh dimaknai secara haqiqi. Jika lafal-lafal tersebut dimaknai secara haqiqi, maka akan muncul pengertian yang salah. Qarinah pada ungkapan majaz jenis ini bersifat lafzhi pula.
خَطَبَ الْأَسَدُ أَمَامَ النَّاسِ
Artinya :
“Singa berfidato didepan orang-orang”.
2.        Sabab tarkibi, yaitu bahwa ungkapan majaz terjadi bukan karena lafazh-lafazhnya yang tidak bisa dipahami secara haqiqi, akan tetapi dari segi penisbatan. Penisbatan fi’il kepada fa’il nya tidak bisa diterima secara rasional dan keyakinan. Contoh firman Allah SWT :
وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أضثْقَالَهَا ( الزلزلة : 2 )
Artinya :
“Dan bumi mengeluarkan beban-bebannya”. ( QS. al-Zalzalah : 2 )
Tidak bisa menisbatkan “أَخْرَجَتِ” kepada “الْأَرْضُ” karena yang mengeluarkan benda-benda itu pada hakikanya adalah Allah SWT.
Didalam bahasa Arab sering terjadi penggunaan suatu lafal atau jumlah (kalimat) bukan untuk makna yang seharusnya dengan tujuan memperindah pengukapan. pengukapan ide dan perasaan dengan tujuan tersebut dilakukan dengan cara taudhih al-ma’na, (memperjelas makna), mubalaghah (hiperbola), tamtsili (eksposisi), dan lain-lain. Objek bahasan yang dikaji dan dibahas dalam majaz hanyalah pada tataran lafal. Sedangkan penggunaan suatu jumlah (kalimat) bukan untuk makna yang seharusnya menjadi bahasan tersendiri dalam ilmu ma’ani.
Suatu ungkapan dinamakan majz apabila memenuhi apabila memnuhi beberapa syarat, yaitu :[6]
a.         Harus mengandung makna majazi.
b.         Mempunyai qarinah.
c.         Memindahkan makna haqiqi pada makna majazi.
C.      Contoh-contoh Majaz Lughawi
1.         Ibnul-‘Amid berkata:

قَمَتْ تُظَلِّلُنِى مِنَ الشَّمسِ  *  نَفْسٌ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِى
قَامَتْ تُظَلِّلُنِى وَمِنْ عَجَبٍ  *  شَمْسٌ تُظَلِّلُنِى مِنَ الشَّمسِ
Artinya :
Telah berdiri menaungiku dari teriknya matahari, seseorang yang lebih aku cintai daripada diriku sendiri. Ia telah menaungiku, amatlah mengherankan, bila ada matahari menaungiku dari terik matahari.
Perhatikanlah baris  terakhir dari bait di atas, maka akan kita jumpai kata asy-syamsu yang dipakai dengan dua makna; pertama adalah makna hakiki sebagaimana yang kita kenal, dan makna yang kedua adalah orang yang bercahaya wajahnya, yang menyerupai kecemerlangan matahari. Makna kedua ini bukanlah makna hakiki. Bila kita perhatikan, maka akan kita temukan kaitan antara makna pertama yang hakiki dan makna kedua yang bukan hakiki. Kaitan dan hubungan kedua makna ini disebut dengan musyabahah (saling menyerupai/keserupaan) karena seseorang yang bercahaya wajahnya itu menyerupai matahari dalam memancarkan cahaya, dan hal ini tidak mungkin menimbulkan ketidakjelasan yang membawa pemahaman bahwa kata syamsun tuzhalliluni adalah menunjukkan makna yang hakiki karena matahari yang hakiki itu tidaklah akan menaungi.[7]
2.      Al-Buhturi berkata dalam menyifati duel antara Fath bin Khaqan dengan seekor singa:
فَلَمْ أَرَضِرْغَامَيْنِ أَصْدَقَ مِنْكُمَا  *  عِرَاكًا إِذَا الْهَيَّابَةُ النِّكْسُ كَذَّبَا
هِزَبْرٌ مَشَى يَبْغِى هِزَبْرًا وَأَغْلَبٌ  *  مِنَ الْقَوْمِ يَغْشَى بَاسِلَ الْوَجْهِ أَغْلَبَا
Artinya :
Aku belum pernah melihat perkelahian dua singa yang lebih sungguh-sungguh daripada kamu berdua (Fath dan singa) ketika orang-orang penakut dan lemah itu tidak berani menghadapinya. Singa lawan singa, yaitu singa (pemberani) dari kaum bertarung melawan singa sungguhan, dan ia dapat mengalahkannya.
Bila kita perhatikan bait kedua dari syair Al-Buhturi di atas, maka akan kita temukan kata hizabrun yang kedua, dimaksudkan untuk menunjukkan makna hakiki,  yakni singa. Sedangkan makna kata hizabrun yang pertama adalah orang pemberani yang dipuji, jadi bukan makna hakiki. Hubungan kedua makna itu adalah keserupaan dalam keberanian, sedangkan karinah yang menghalangi pemberian makna hakiki adalah bahwa susunan kalimat menghendaki pemberian makna baru yang bukan hakiki. Demikian pula halnya pada kata aghlabun minal-qaum dan basil al-wajhi aghlaba. Kata-kata kedua menunjukkan makna asli, yakni singa. Sedangkan kata-kata yang pertama menunjukkan makna yang lain, yakni laki-laki yang pemberani. Hubungan kedua makna itu adalah keserupaan dalam keberanian. Karinah yang menghalangi pemberian makna hakiki terhadap kata-kata pertama adalah lafaz minal qaum.[8]
D.      Pembagian Majaz Lughawi
Majaz lughawi adalah salah satu jenis yang illah nya disandarkan pada aspek bahasa. Majaz ini terbagi kepada dua jenis, yaitu majaz isti’arah dan majaz mursal.
BAB III
PETUTUP

Simpulan
Majaz lughawi adalah lafaz yang digunakan dalam makna yang bukan seharusnya karena adanya hubungan disertai karinah yang menghalangi pemberian makna hakiki.
Suatu ungkapan dinamakan majaz apabila memenuhi beberapa syarat, yaitu : 1) Harus mengandung makna majazi; 2) Mempunyai qarinah; dan 3) Memindahkan makna haqiqi pada makna majazi.
Contoh majaz lughawi:
قَمَتْ تُظَلِّلُنِى مِنَ الشَّمسِ  *  نَفْسٌ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِى
قَامَتْ تُظَلِّلُنِى وَمِنْ عَجَبٍ  *  شَمْسٌ تُظَلِّلُنِى مِنَ الشَّمسِ
Artinya :
Telah berdiri menaungiku dari teriknya matahari, seseorang yang lebih aku cintai daripada diriku sendiri. Ia telah menaungiku, amatlah mengherankan, bila ada matahari menaungiku dari terik matahari.
Majaz lughawi adalah salah satu jenis yang illah nya disandarkan pada aspek bahasa. Majaz ini terbagi kepada dua jenis, yaitu majaz isti’arah dan majaz mursal. Untuk lebih jelasnya tentang pembagian majaz lughawi, akan dijelaskan dalam makalah selanjutnya.









DAFTAR PUSTAKA

Al-Jarim, Ali dan  Musthafa Amin. 2011. Terjemahan Balaghatul Wadhihah. Terj. Mujiyo Nurkholis dkk. Bandung : Sinar Baru Algesindo.
Idris, Mardjoko. 2007 Ilmu Balaghah Kajian Khusus Uslub Jinas dan Iqtibas, Yogyakarta: Teras.
Zaenuddin, Mamat dan Yayan Nurbayan. 2007. Pengantar Ilmu Balaghah. Bandung : PT Refika Aditama.



[1] Ali Al-Jarim & Musthafa Amin, Terjemahan Balaghatul Wadhihah, terj. Mujiyo Nurkholis dkk., ( Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2011),  hal. 6.
[2] Mardjoko Idris, Ilmu Balaghah Kajian Khusus Uslub Jinas dan Iqtibas, (Yogyakarta: Teras, 2007), hal. 3.
[3] Ali Al-Jarim & Musthafa Amin, Terjemahan Balaghatul Wadhihah, terj. Mujiyo Nurkholis dkk., ( Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2011),  hal. 95.
[4] Mamat Zaenuddin dan Yayan Nurbayan, Pengantar Ilmu Balaghah, (Bandung : PT Refika Aditama, 2007) Cet I, hal. 31.
[5] Ibid., hal. 32.
[6] Ibid., hal. 32
[7] Ali Al-Jarim & Musthafa Amin, Op. Cit., hal. 92-94.
[8] Ibid., hal. 93-94.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Ilmu Pendidikan tentang Pembawaan, Keturunan, dan Lingkungan

Bagaimana Jika Tak Ada Hari Esok